Yang Terbaru
Lampu
bioskop Epicentrum XXI mulai dinyalakan. Special
screening film “Pantja-Sila: Cita-cita dan Realita” baru saja selesai.
Beberapa penonton—yang hampir seluruhnya adalah undangan—terlihat berbinar;
sebagian lainnya menguap untuk membiarkan oksigen ekstra ke otaknya. Panitia
dan beberapa orang lainnya bergegas menyiapkan meja dan kursi di atas panggung
untuk keperluan konferensi media massa.
Saya sedikit
tercekap. Diam sebentar mematung, hingga kemudian seorang lelaki separuh baya
yang duduk beberapa bangku di sebelah kiri saya mencoba membuka diskusi. “Ini
beneran mau tayang bioskop?”, tukasnya sederhana. Sesederhana logika film pada
umumnya ‘yang seharusnya menjual cerita tentang sesuatu yang menarik untuk common sense masyarakat hari ini’. Makin
populis filmnya, makin laku. Kira-kira begitu sederhananya.
Saya tersenyum,
walau saya tahu senyum saya tidak sederhana. Kami—yang saling tidak
kenal—terlibat sedikit diskusi tentang film garapan Tyo Pakusadewo dan Tino
Saroengallo itu. Lelaki itu, yang rupanya jurnalis infotainment di salah satu media yang saya kurang mengenal
namanya—mungkin karena saya kurang atau bahkan tidak mengikuti dunia infotainment—beranggapan positif tentang
film ini. Sedikit berbincang tentang sosok Soekarno dari figuritas yang
dibangun Tyo Pakusadewo; sedikit tentang pentingnya Pancasila untuk generasi
hari ini; sedikit tentang bahwa film ini sangat idealis; dan seterusnya, dan
seterusnya. Sebagai seorang homo sapiens
yang beradab, tentu saya harus sedikit banyak terlibat dengan diskusi numpang
lewat itu.
Bukan. Saya
bukan menolak diskusi remeh-temeh khas obrolan kulit kacang; atau bahwa lelaki
itu berlatar belakang jurnalis infotainment.
Saya hanya ingin terdiam, di bawah sejuknya Air
Conditioning Epicentrum XXI dan keliaran imajinasi saya akan seorang
Soekarno. Saya juga bukan hendak menekankan keberhasilan aktor Tyo Pakusadewo
me-lafal-kan bahasa campuran dari Rusia sampai Jawa. Juga bukan tentang
bagaimana Tino Saroengallo berusaha membangun pesan patriotisme dalam film
berdurasi 78 menit itu. Saya hanya benar-benar ingin menikmati keterlamunan
saya akan sosok Soekarno.
Pendekatan
tekstual tentu akan memperdebatkan persepsi tunggal Tyo dan Tino tentang
bagaimana Soekarno menyampaikan pidato perdana tentang Pancasila. Hanya
bermodalkan sebuah teks tanpa rekaman audio dan visual, tentu kedua sutradara
ini akan bermain-main di wilayah klaim makna atas bagaimana Soekarno berpidato
di tengah rapat awal Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Tidak, saya tidak ingin memperdebatkan itu.
Cukup angkat topi kepada kedua sutradara dan seluruh tim film yang terlibat,
saya kira itu cukup bagi saya untuk menaruh hormat terdalam untuk sebuah upaya
memberikan pemahaman lebih kepada generasi hari ini tentang ide berbangsa dan
bernegara.
Persoalan
utama di otak saya adalah isi dari pidato tersebut. Di umur 44 tahun, Soekarno
dengan matang mengutip berbagai sumber perjuangan kemerdekaan di hampir seluruh
belahan dunia tanpa pandang bulu; mulai dari Ibn Saud hingga Sun Yat Sen.
Dengan ciamik, ia mengambil secuplik pemikiran Ki Bagus Hadikoesoemo tentang
‘kemerdekaan, orang, dan tanah air’ yang kemudian dikembangkannya menjadi
sebuah pemikiran utuh tentang arti kemerdekaan sesungguhnya. Di satu titik, ia
menolak pandangan Liem Koen Hian tentang ‘humanisme, dan jangan nasionalisme’
dan mendudukkan nasionalisme sebagai dasar perjuangan, dengan menambahkan
internasionalisme sebagai jejaringnya.
Sejujurnya,
di beberapa patahan dalam film tersebut, saya benar-benar lepas dari figuritas
Soekarno yang dibawakan dalam film tersebut. Esensi atau isi menjadi sesuatu
yang elegi, mengalahkan eksistensi atau bentuk yang di-rupa-kan oleh produsen
film. Saya terkesima dengan membayangkan, bagaimana seorang berbangsa Indonesia
dengan umur 44 tahun mampu merangkum begitu banyak simpul pemikiran, dan
kemudian membahasakannya dalam sebuah pemikiran yang otentik. Cerita tentang
seorang pemuda bernama Semaoen yang masih muda belia dan memimpin demonstrasi
besar di tahun 1926 sekilas jadi terbayang di benak saya. Masa-masa dimana
setiap pemuda ditempa untuk dapat menjadi agen perubahan bagi keluarga dan
bangsanya.
Bagi saya,
Soekarno bukan sekedar seorang orator. Di depan saya, pada layar besar bioskop
yang baru saja usai memutar film itu, yang muncul adalah seorang aktor besar
yang membawakan teks pidato 1 Juni 1945. Film ini bukanlah historikal
dokumenter yang menghadirkan pidato Soekarno lengkap dengan intonasinya. Tapi,
dari film inilah, saya ‘dipaksa’ untuk membayangkan figur Soekarno yang
sesungguhnya: seorang pemikir. Bagi saya pribadi, teks pidato itu bukan sekedar
menandai lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Teks pidato itu menjadi
wahana bagi saya untuk mencari imajinasi saya tentang bagaimana Indonesia
dibentuk oleh para pendiri terdahulunya.
Tentang
bagaimana Mohammad Yamin mengawali ide tentang lima asas dasar negara pada 29
Mei 1945.
Tentang
bagaimana diskusi-diskusi dalam rapat-rapat maraton itu menumbukkan berbagai
kepentingan yang sesungguhnya memiliki kerentanan konflik.
Tentang
bagaimana ‘niat baik’ Jepang yang sebenarnya menginginkan sebuah negara boneka,
justru melahirkan sebuah gerakan politik terstruktur berbungkuskan pemerintahan
revolusioner.
Dan
terutama, bagaimana berbinarnya mata mereka yang melihat langsung Soekarno
berpidato, dimana pikiran-pikiran mereka dimanjakan oleh premis pemikiran
Soekarno yang tuntas.
Sungguh,
saya jadi ingin melihat bagaimana Hatta, Tan Malaka, Syahrir, atau Agus Salim
membawakan pemikirannya secara otentik.
Lewat tengah hari. Kubayangkan diriku di Café Noir, menyaksikan Camus
dan Sartre menikmati coffe latte sembari menceburkan diri dalam
obrolan-obrolan pelik tanpa jawaban. Tapi ini bukan Revolusi Bastille.
Ini warung kopi, dengan menu yang telah bercampur debu.
Di pojok warung, tiga lelaki tenggelam dalam tiga cangkir kopi. Tiga pujangga yang sedang bersua, entah bisa jadi apa. Mungkin tak jadi apa-apa, selain kata-kata baru yang dicerap entah darimana. Tapi mereka bukan sembarang pujangga.
Aku berjingkat untuk mendekatkan jarak.
“Kau terlalu keras, Tuan,” kata lelaki berjas pantalon pada lelaki yang paling muda di antara mereka.
“Keras? Mungkin stellingen[1] kita yang berbeda, Raden,” balas lelaki muda itu.
“Ingat, Tuan! Marsose-marsose itu…,” lelaki berjas pantalon menyerbu lagi.
“Marsose? Bah! Sudah ratusan tahun mereka di sini. Saya bosan menunggu,” tukas lelaki muda berapi-api.
“Itu maksudku! Ya, itu! Kau terlalu cepat menilai zaman. Kau tidak memberikan kesempatan kepada sejarah untuk membuktikan dirinya.”
“Masa lalu, maksud anda? Apa bedanya itu dengan menyerah pada nasib? Kita manusia punya akal dan budi. Tapi akal budi kita terlalu terlena oleh semboyan para priyayi dan kyai.”
“Kau mau bilang, priyayi dan kyai tak lagi pantas dipercaya? Kita harus lebih percaya levensvisie[2] Barat?” nada lelaki berjas pantalon terdengar tajam.
“Bukan begitu, Raden. Saya hanya berusaha terbuka. Dunia bukan lagi milik adat tradisi, tapi milik ilmu dan teknik,” jawab lelaki muda dengan nada merendah namun tetap tak mau kalah.
“Tapi rakyat kita masih melihat segalanya dengan mata telanjang, Tuan. Belum dengan ini!” balas lelaki berjas pantalon keras sembari menunjuk dahinya.
Aku mungkin sangat muda untuk mencerna seluruh pembicaraan mereka. Tapi tua bukan berarti tahu segalanya. Kuamati dua lelaki yang saling serang itu. Tentu saja, siapa tak kenal mereka. Lelaki berjas pantalon itu biasa dikenal sebagai Raden Sutomo, salah satu pencetus Boedi Oetomo yang mahsyur itu. Seorang administratif yang ketat, khas didikan Stovia Belanda. Sementara si lelaki muda adalah Tuan Takdir, sang pujangga dan pendidik beraliran modernis.
“Sudahlah,” lelaki ketiga yang berkacamata berusaha meningkahi. “Tidak ada yang salah. Kita bertemu bukan untuk mencari menang dan kalah. Harus kuakui, tulisan terakhir Raden terlalu persoonlijk[3].”“Ya. Redaksi Bintang Timur dan Suara Umum[4] menyayangkan sikap tulisan anda, Raden,” tambah Tuan menuding Raden.
“Hei…”
“Sudahlah, Raden. Ada hal lain yang lebih penting,” sela lelaki berkacamata.
Raden menatap dingin. Tapi si lelaki berkacamata, dengan sosok tenang yang menyimpan berjuta kekuatan, merundukkan kelebat emosi yang terlihat mendera Raden. Raden menunduk, menggosok-gosokkan kakinya di tungkai bangku. Mungkin gelisah. Mungkin gatal.
Lelaki berkacamata paling tua di antara mereka. Ia paling banyak makan asam garam, dikenal sebagai Ki Hajar. Dulu, ketika masih muda dan meletup-letup, ia dikenal sebagai Soewardi. Seorang ningrat disiplin, asli Pakualaman yang punya tali sejarah dengan era pendudukan Inggris.
“Saya paham maksud anda, Ki. Tapi coba bayangkan, apa yang bisa dihasilkan onderwijs[5] yang mengajarkan gemoedelijkheid[6] sebagai visinya? Kita berada di antara bangsa harimau! Tidak ada jalan selain membentuk individu-individu yang kuat,” Tuan menyela tiba-tiba dengan api menyala.
“Tapi bukan berarti kita punya onderwijs akan kebarat-baratan! Aku menolak sekolah gubernemen[7] karena menceraikan sekolah desa dengan sekolah standar,” sahut Raden cepat.
“Lalu? Pesantren atau pondokan? Kebudayaan bukan barang lama yang bisa dipermak seenaknya. Anda tahu, Kemal Pasja tidak main-main saat menghapuskan tarbus di Turki? Sikap selalu soal pilihan, Raden.”
“Naif! Kau bermimpi seakan-akan Renaissance Eropa ada di depan mata kita,” tukas Raden sengit.
Sejenak terdiam. Hanya Raden yang masih terengah-engah, mengikuti arah gelegar darahnya. Ia mengambil sebatang kretek yang didapatkannya dari teman-teman peranakan Indo. Disulutnya, dan segera aroma tajam terumbar, mengikat senyawa udara di penjuru ruangan.
“Terlalu manis,” komentar Raden sembari mengernyit melihat kreteknya. “Bangsa yang aneh...”
“Tetap saja anda menghisapnya,” kata Tuan dengan tawa jenaka.
“Itu karena kretek Amerika lebih murah daripada Cina punya.”
“Tentu saja, karena anda membelinya dari kios milik gubernemen. Coba, mana yang lebih murah? Kretek Amerika ini? Kretek Cina? Atau tembakau kampung?”
“Kau mempermainkan aku, Tuan. Apa beda kretek Cina dan tembakau kampung?” Raden membalas pertanyaan Tuan dengan curiga.
“Ada, Raden. Racikannya,” jawab Tuan sedikit menggoda.
“Tetap saja, isinya sama!” tetak Raden tak peduli.
“Seperti jiwa dan tubuh…” sela Ki pelan.
“Apa, Ki?”
Sama seperti Raden, aku hampir tak mendengar perkataan terakhir Ki. Mungkin Tuan juga. Tapi Ki dengan tenangnya mengambil bungkus kretek Amerika itu, menimang-nimangnya dalam genggaman tangan. Ia membolak-balik bungkus kretek itu, membaca beberapa baris yang tertera di sana.
“Ini adalah seni berdagang. Apakah Tuan dan Raden pernah peduli dengan isinya? Mungkin ya, tapi hampir pasti tidak. Tuan benar, kita harus ikut bermain dengan cara mereka. Tapi Raden juga benar, kita punya isi belumlah mampu karena urusan masa lalu yang masih compang-camping.”
“Maaf kalau saya tidak sepakat, Ki. Tapi waktu bukan sesuatu yang bisa ditunggu. Ia seperti tumbuhnya tubuh anak-anak menjadi besar,” Tuan berusaha memberikan pandangan lain.
“Ya, waktu memang kejam. Tapi bukankah waktu selalu memiliki pola?” jawab Ki sembari melepaskan pandangan pada Tuan dengan seulas senyum bersahabat. “23 tahun yang lalu, aku pernah punya pikiran yang sama dengan Tuan. Tapi waktu membuktikan lain,” lanjut Ki lagi.
“Itu karena pendidikan anda di Nederland sana, Ki.”
“Mungkin Tuan benar. Tapi pandanganku telah jauh berubah. Pergulatan tradisi amat bergantung pada tijd en ruimte, zaman dan alam. Seluruh mesin dan alat yang dibuat manusia adalah tiruan mesin alam yang maha besar. Mungkin kita berpikir, bergeraknya tubuh kita karena kemauan kita sendiri. Pada hakekatnya, tidak lain adalah sebagian dari laku alam, yang memiliki wet[8] alam. Wet van oorzaak en gevolg[9], wet karma. Di situlah waktu memiliki pola yang bisa kita pelajari,” urai Ki.
Ki, dengan mata berliannya, menyapu tatapan kedua lelaki di hadapannya.
“Kau kelihatan tidak antusias, Tuan,” kata Ki lagi sembari memegang bahu tuan. “Pembaharuan adab harus dimulai dari menunggilnya[10] kita pada laku alam. Manusia dan alam saling memberi. Alam punya kekuatan yang besar, manusia punya kekuatan berkuasa. Sifat dan wujudnya zaman dan alam mencerminkan sifat wujudnya hidup khalayak. Itu yang mencerminkan rupa warnanya adab dan kultur kita.”
Aku tahu, Tuan berusaha tetap tenang, walau kakinya mulai bergoyang-goyang.
“Taman Siswa kudirikan bukan tanpa alasan. Kau tahu, Raden?” Ki memalingkan pandangan pada Raden, “Yang paling mengerikan dari ini penjajahan bukanlah hilangnya kemerdekaan kita, tapi rusaknya perhubungan kita dengan tanah ini, dengan zaman ini. Aku ingin membangkitkan kecintaan orang-orang muda akan tanah mereka sendiri. Bukan sekedar tanah gembur, tapi alam dan zamannya.”
“Anda terlalu jauh ke belakang, Ki. Ini bukan lagi zaman Majapahit atau Sriwijaya. Ini zaman kebudayaan baru! Sintesa barat dan timur!” Tuan berkata lugas.
“Itu benar, Tuan. Tapi Tuan melampaui realita. Tuan membicarakan sesuatu yang futura[11],” ujar Ki berdiplomasi.
“Saya berpijak pada hari ini, Ki. Pada realita,” Tuan berkilah.
“Tapi kau menolak prasejarah kita. Kau menolak masa lalu. Dengan begitu, kau tak punya hak untuk bicara hari ini,” Raden memotong cepat.
“Mungkin. Tapi yang pasti, hak bukanlah milik hari ini, Raden. Hak adalah milik hari depan. Hari ini adalah kewajiban.”
“Nah! Apa bedanya itu dengan yang dianjurkan kebijaksanaan kebudayaan kita?” sahut Raden sembari melirik pada Ki.
“Nee…nee…niet,” potong Tuan, “Melawan harimau bukan dengan kebijaksanaan, tapi dengan taring. Mengapa bangsa Eropa bisa maju? Karena mereka punya filosofi menaklukkan alam, filosofi Bangsa Semit. Sementara kita? Selalu saja kita berusaha mengharmonikan alam.”
“Tuan Amir sudah menjawab stelling Tuan itu di Pewarta Deli,” kata Raden setengah merendahkan.
“Soal Neo-Darwinis dan Neo-Lamarck itu? Soal filosofi Semit dan India? Ah! Itu hanya soal cara pandang Bangsa Eropa atas dirinya sendiri. Mereka telah membongkar banyak rahasia alam, menjadikannya sebagai teknik dan pengetahuan. Sementara kehidupan kita terlalu lama bersarang dalam mystiek angelegd[12]. Saya katakan, kita tinggalkan pengurusan akherat, dan mulai berpikir harta duniawi,” jawab Tuan.
“Itu materialis, Tuan. National Onderwijs kita akan memberikan pendidikan yang lebih sempurna dari yang di Barat. National Onderwijs kita haruslah melahirkan kembali kaum-kaum ksatria yang tulus, bukan pengejar harta duniawi. Ia akan mengajarkan perasaan yang elok, mendekatkan perasaan kepada bangsa,” tandas Raden tak mau kalah.
Tuan Takdir tak mau kalah.
“Anda melihat masalah separuh-separuh, Raden. Kebudayaan baru yang saya maksud adalah kebudayaan totaliteit, yang saling berhubungan. Antara seni dan ekonomi. Antara perdagangan dan agama, hukum dan adat-istiadat, pertanian dan cara berpikir. Untuk mencapai itu, kita harus merumuskan kebudayaan yang berekend[13], yang sanggup untuk pertarungan jaman modern,” jelas Tuan lagi.
Harus kuakui, di luar pikiran-pikirannya yang radikal, Tuan Takdir memiliki argumen yang jitu.
“Juga pendidikan kita, tidak boleh lepas dari perhubungan itu. Memang betul apa yang Raden bilang. Tapi jangan lupa, ksatria tidak dilahirkan di perguruan, tapi di medan perang,” Tuan seperti menyalak galak.
Aku tidak tahu apa yang berkecamuk di pikiran Raden. Tapi kalimat terakhir Tuan jelas merasuk di pori-porinya.
Jadi beginilah obrolan kopi yang sering kubayangkan, seperti absurditas dan eksistensialisme yang dikais para penikmat coffe latte itu. Kubayangkan Sartre yang akademis menuding Camus yang terlelap di bangku kesepian penikmat kesadaran. Tepat di pojok Café.
“Sudahlah, tak perlu berkeras-keras begini. Kita seharusnya bersyukur dengan nikmat kopi ini,” Ki mencoba memecah ketegangan di antara mereka.
“Nah…nah! Sudah saya bilang, tinggalkan sikap pasrah demikian. Apa kita harus mensyukuri kelaparan dan kebodohan? Ini bangsa harus keluar dari pikir-pikir macam itu!” tetak Tuan seperti sumbu ledakan.
“Pemimpi! Terkadang mimpi dan ide hanya dipisahkan kelambu tipis. Mimpi-mimpimu hanya akan membawa kita ke alam yang tidak pernah kita miliki,” Raden menengahi dengan sinis.
“Tidak pernah, bukan berarti tidak akan, Raden!”
“Akan, bukan berarti mimpi di siang bolong, Tuan.”
“Hei…hei…lihatlah kalian, bersilat lidah dan membuang kata-kata dengan murahnya. Perubahan bukan datang dari kata-kata, tapi tindakan. Dan ingat! Tindakan datang dari pemahaman!” potong Ki dengan nada terdengar tinggi. Aura mudanya sejenak terlihat.
Sudah cukup, pikirku. Tontonan ini tidak lebih mahal dari perang candu pedagang-pedagang pesisiran. Kupanggil penjaga warung, meminta tagihan. Sembari berbisik, kuberikan padanya secarik kertas untuk tiga orang yang duduk di pojok warung itu. Sang penjaga mengangguk. Kemudian aku beranjak meninggalkan warung kopi itu.
Di luar jalanan ramai. Aku menarik napas sembari tersenyum, membayangkan ketiga pujangga itu membaca isi pesanku, “10 tahun lagi, aku akan datang dengan pekik kemerdekaan. Kuharap tuan-tuan berhati-hati dengan sabda tuan-tuan, karena mungkin tuan-tuan akan tercatat di lembar kisah kepahlawanan negeri ini.”
Kulangkahkan kaki, menyeberangi jalan.
Bekasi, 20 Mei 2007
Catatan kaki:[1] Bangunan; pendirian.[2] Pandangan hidup.[3] Pribadi; personal.[4] Dua dari banyak koran semasa tahun 1930-an.[5] Pendidikan; pengajaran.[6] Ramah-tamah.[7] Pemerintahan.[8] Hukum.[9] Hukum hubungan sebab-akibat.[10] Bersatu.[11] Masa depan.[12] Keterkaitan mistik.[13] Menentukan, mengambil kesimpulan.
Di pojok warung, tiga lelaki tenggelam dalam tiga cangkir kopi. Tiga pujangga yang sedang bersua, entah bisa jadi apa. Mungkin tak jadi apa-apa, selain kata-kata baru yang dicerap entah darimana. Tapi mereka bukan sembarang pujangga.
Aku berjingkat untuk mendekatkan jarak.
“Kau terlalu keras, Tuan,” kata lelaki berjas pantalon pada lelaki yang paling muda di antara mereka.
“Keras? Mungkin stellingen[1] kita yang berbeda, Raden,” balas lelaki muda itu.
“Ingat, Tuan! Marsose-marsose itu…,” lelaki berjas pantalon menyerbu lagi.
“Marsose? Bah! Sudah ratusan tahun mereka di sini. Saya bosan menunggu,” tukas lelaki muda berapi-api.
“Itu maksudku! Ya, itu! Kau terlalu cepat menilai zaman. Kau tidak memberikan kesempatan kepada sejarah untuk membuktikan dirinya.”
“Masa lalu, maksud anda? Apa bedanya itu dengan menyerah pada nasib? Kita manusia punya akal dan budi. Tapi akal budi kita terlalu terlena oleh semboyan para priyayi dan kyai.”
“Kau mau bilang, priyayi dan kyai tak lagi pantas dipercaya? Kita harus lebih percaya levensvisie[2] Barat?” nada lelaki berjas pantalon terdengar tajam.
“Bukan begitu, Raden. Saya hanya berusaha terbuka. Dunia bukan lagi milik adat tradisi, tapi milik ilmu dan teknik,” jawab lelaki muda dengan nada merendah namun tetap tak mau kalah.
“Tapi rakyat kita masih melihat segalanya dengan mata telanjang, Tuan. Belum dengan ini!” balas lelaki berjas pantalon keras sembari menunjuk dahinya.
Aku mungkin sangat muda untuk mencerna seluruh pembicaraan mereka. Tapi tua bukan berarti tahu segalanya. Kuamati dua lelaki yang saling serang itu. Tentu saja, siapa tak kenal mereka. Lelaki berjas pantalon itu biasa dikenal sebagai Raden Sutomo, salah satu pencetus Boedi Oetomo yang mahsyur itu. Seorang administratif yang ketat, khas didikan Stovia Belanda. Sementara si lelaki muda adalah Tuan Takdir, sang pujangga dan pendidik beraliran modernis.
“Sudahlah,” lelaki ketiga yang berkacamata berusaha meningkahi. “Tidak ada yang salah. Kita bertemu bukan untuk mencari menang dan kalah. Harus kuakui, tulisan terakhir Raden terlalu persoonlijk[3].”“Ya. Redaksi Bintang Timur dan Suara Umum[4] menyayangkan sikap tulisan anda, Raden,” tambah Tuan menuding Raden.
“Hei…”
“Sudahlah, Raden. Ada hal lain yang lebih penting,” sela lelaki berkacamata.
Raden menatap dingin. Tapi si lelaki berkacamata, dengan sosok tenang yang menyimpan berjuta kekuatan, merundukkan kelebat emosi yang terlihat mendera Raden. Raden menunduk, menggosok-gosokkan kakinya di tungkai bangku. Mungkin gelisah. Mungkin gatal.
Lelaki berkacamata paling tua di antara mereka. Ia paling banyak makan asam garam, dikenal sebagai Ki Hajar. Dulu, ketika masih muda dan meletup-letup, ia dikenal sebagai Soewardi. Seorang ningrat disiplin, asli Pakualaman yang punya tali sejarah dengan era pendudukan Inggris.
“Saya paham maksud anda, Ki. Tapi coba bayangkan, apa yang bisa dihasilkan onderwijs[5] yang mengajarkan gemoedelijkheid[6] sebagai visinya? Kita berada di antara bangsa harimau! Tidak ada jalan selain membentuk individu-individu yang kuat,” Tuan menyela tiba-tiba dengan api menyala.
“Tapi bukan berarti kita punya onderwijs akan kebarat-baratan! Aku menolak sekolah gubernemen[7] karena menceraikan sekolah desa dengan sekolah standar,” sahut Raden cepat.
“Lalu? Pesantren atau pondokan? Kebudayaan bukan barang lama yang bisa dipermak seenaknya. Anda tahu, Kemal Pasja tidak main-main saat menghapuskan tarbus di Turki? Sikap selalu soal pilihan, Raden.”
“Naif! Kau bermimpi seakan-akan Renaissance Eropa ada di depan mata kita,” tukas Raden sengit.
Sejenak terdiam. Hanya Raden yang masih terengah-engah, mengikuti arah gelegar darahnya. Ia mengambil sebatang kretek yang didapatkannya dari teman-teman peranakan Indo. Disulutnya, dan segera aroma tajam terumbar, mengikat senyawa udara di penjuru ruangan.
“Terlalu manis,” komentar Raden sembari mengernyit melihat kreteknya. “Bangsa yang aneh...”
“Tetap saja anda menghisapnya,” kata Tuan dengan tawa jenaka.
“Itu karena kretek Amerika lebih murah daripada Cina punya.”
“Tentu saja, karena anda membelinya dari kios milik gubernemen. Coba, mana yang lebih murah? Kretek Amerika ini? Kretek Cina? Atau tembakau kampung?”
“Kau mempermainkan aku, Tuan. Apa beda kretek Cina dan tembakau kampung?” Raden membalas pertanyaan Tuan dengan curiga.
“Ada, Raden. Racikannya,” jawab Tuan sedikit menggoda.
“Tetap saja, isinya sama!” tetak Raden tak peduli.
“Seperti jiwa dan tubuh…” sela Ki pelan.
“Apa, Ki?”
Sama seperti Raden, aku hampir tak mendengar perkataan terakhir Ki. Mungkin Tuan juga. Tapi Ki dengan tenangnya mengambil bungkus kretek Amerika itu, menimang-nimangnya dalam genggaman tangan. Ia membolak-balik bungkus kretek itu, membaca beberapa baris yang tertera di sana.
“Ini adalah seni berdagang. Apakah Tuan dan Raden pernah peduli dengan isinya? Mungkin ya, tapi hampir pasti tidak. Tuan benar, kita harus ikut bermain dengan cara mereka. Tapi Raden juga benar, kita punya isi belumlah mampu karena urusan masa lalu yang masih compang-camping.”
“Maaf kalau saya tidak sepakat, Ki. Tapi waktu bukan sesuatu yang bisa ditunggu. Ia seperti tumbuhnya tubuh anak-anak menjadi besar,” Tuan berusaha memberikan pandangan lain.
“Ya, waktu memang kejam. Tapi bukankah waktu selalu memiliki pola?” jawab Ki sembari melepaskan pandangan pada Tuan dengan seulas senyum bersahabat. “23 tahun yang lalu, aku pernah punya pikiran yang sama dengan Tuan. Tapi waktu membuktikan lain,” lanjut Ki lagi.
“Itu karena pendidikan anda di Nederland sana, Ki.”
“Mungkin Tuan benar. Tapi pandanganku telah jauh berubah. Pergulatan tradisi amat bergantung pada tijd en ruimte, zaman dan alam. Seluruh mesin dan alat yang dibuat manusia adalah tiruan mesin alam yang maha besar. Mungkin kita berpikir, bergeraknya tubuh kita karena kemauan kita sendiri. Pada hakekatnya, tidak lain adalah sebagian dari laku alam, yang memiliki wet[8] alam. Wet van oorzaak en gevolg[9], wet karma. Di situlah waktu memiliki pola yang bisa kita pelajari,” urai Ki.
Ki, dengan mata berliannya, menyapu tatapan kedua lelaki di hadapannya.
“Kau kelihatan tidak antusias, Tuan,” kata Ki lagi sembari memegang bahu tuan. “Pembaharuan adab harus dimulai dari menunggilnya[10] kita pada laku alam. Manusia dan alam saling memberi. Alam punya kekuatan yang besar, manusia punya kekuatan berkuasa. Sifat dan wujudnya zaman dan alam mencerminkan sifat wujudnya hidup khalayak. Itu yang mencerminkan rupa warnanya adab dan kultur kita.”
Aku tahu, Tuan berusaha tetap tenang, walau kakinya mulai bergoyang-goyang.
“Taman Siswa kudirikan bukan tanpa alasan. Kau tahu, Raden?” Ki memalingkan pandangan pada Raden, “Yang paling mengerikan dari ini penjajahan bukanlah hilangnya kemerdekaan kita, tapi rusaknya perhubungan kita dengan tanah ini, dengan zaman ini. Aku ingin membangkitkan kecintaan orang-orang muda akan tanah mereka sendiri. Bukan sekedar tanah gembur, tapi alam dan zamannya.”
“Anda terlalu jauh ke belakang, Ki. Ini bukan lagi zaman Majapahit atau Sriwijaya. Ini zaman kebudayaan baru! Sintesa barat dan timur!” Tuan berkata lugas.
“Itu benar, Tuan. Tapi Tuan melampaui realita. Tuan membicarakan sesuatu yang futura[11],” ujar Ki berdiplomasi.
“Saya berpijak pada hari ini, Ki. Pada realita,” Tuan berkilah.
“Tapi kau menolak prasejarah kita. Kau menolak masa lalu. Dengan begitu, kau tak punya hak untuk bicara hari ini,” Raden memotong cepat.
“Mungkin. Tapi yang pasti, hak bukanlah milik hari ini, Raden. Hak adalah milik hari depan. Hari ini adalah kewajiban.”
“Nah! Apa bedanya itu dengan yang dianjurkan kebijaksanaan kebudayaan kita?” sahut Raden sembari melirik pada Ki.
“Nee…nee…niet,” potong Tuan, “Melawan harimau bukan dengan kebijaksanaan, tapi dengan taring. Mengapa bangsa Eropa bisa maju? Karena mereka punya filosofi menaklukkan alam, filosofi Bangsa Semit. Sementara kita? Selalu saja kita berusaha mengharmonikan alam.”
“Tuan Amir sudah menjawab stelling Tuan itu di Pewarta Deli,” kata Raden setengah merendahkan.
“Soal Neo-Darwinis dan Neo-Lamarck itu? Soal filosofi Semit dan India? Ah! Itu hanya soal cara pandang Bangsa Eropa atas dirinya sendiri. Mereka telah membongkar banyak rahasia alam, menjadikannya sebagai teknik dan pengetahuan. Sementara kehidupan kita terlalu lama bersarang dalam mystiek angelegd[12]. Saya katakan, kita tinggalkan pengurusan akherat, dan mulai berpikir harta duniawi,” jawab Tuan.
“Itu materialis, Tuan. National Onderwijs kita akan memberikan pendidikan yang lebih sempurna dari yang di Barat. National Onderwijs kita haruslah melahirkan kembali kaum-kaum ksatria yang tulus, bukan pengejar harta duniawi. Ia akan mengajarkan perasaan yang elok, mendekatkan perasaan kepada bangsa,” tandas Raden tak mau kalah.
Tuan Takdir tak mau kalah.
“Anda melihat masalah separuh-separuh, Raden. Kebudayaan baru yang saya maksud adalah kebudayaan totaliteit, yang saling berhubungan. Antara seni dan ekonomi. Antara perdagangan dan agama, hukum dan adat-istiadat, pertanian dan cara berpikir. Untuk mencapai itu, kita harus merumuskan kebudayaan yang berekend[13], yang sanggup untuk pertarungan jaman modern,” jelas Tuan lagi.
Harus kuakui, di luar pikiran-pikirannya yang radikal, Tuan Takdir memiliki argumen yang jitu.
“Juga pendidikan kita, tidak boleh lepas dari perhubungan itu. Memang betul apa yang Raden bilang. Tapi jangan lupa, ksatria tidak dilahirkan di perguruan, tapi di medan perang,” Tuan seperti menyalak galak.
Aku tidak tahu apa yang berkecamuk di pikiran Raden. Tapi kalimat terakhir Tuan jelas merasuk di pori-porinya.
Jadi beginilah obrolan kopi yang sering kubayangkan, seperti absurditas dan eksistensialisme yang dikais para penikmat coffe latte itu. Kubayangkan Sartre yang akademis menuding Camus yang terlelap di bangku kesepian penikmat kesadaran. Tepat di pojok Café.
“Sudahlah, tak perlu berkeras-keras begini. Kita seharusnya bersyukur dengan nikmat kopi ini,” Ki mencoba memecah ketegangan di antara mereka.
“Nah…nah! Sudah saya bilang, tinggalkan sikap pasrah demikian. Apa kita harus mensyukuri kelaparan dan kebodohan? Ini bangsa harus keluar dari pikir-pikir macam itu!” tetak Tuan seperti sumbu ledakan.
“Pemimpi! Terkadang mimpi dan ide hanya dipisahkan kelambu tipis. Mimpi-mimpimu hanya akan membawa kita ke alam yang tidak pernah kita miliki,” Raden menengahi dengan sinis.
“Tidak pernah, bukan berarti tidak akan, Raden!”
“Akan, bukan berarti mimpi di siang bolong, Tuan.”
“Hei…hei…lihatlah kalian, bersilat lidah dan membuang kata-kata dengan murahnya. Perubahan bukan datang dari kata-kata, tapi tindakan. Dan ingat! Tindakan datang dari pemahaman!” potong Ki dengan nada terdengar tinggi. Aura mudanya sejenak terlihat.
Sudah cukup, pikirku. Tontonan ini tidak lebih mahal dari perang candu pedagang-pedagang pesisiran. Kupanggil penjaga warung, meminta tagihan. Sembari berbisik, kuberikan padanya secarik kertas untuk tiga orang yang duduk di pojok warung itu. Sang penjaga mengangguk. Kemudian aku beranjak meninggalkan warung kopi itu.
Di luar jalanan ramai. Aku menarik napas sembari tersenyum, membayangkan ketiga pujangga itu membaca isi pesanku, “10 tahun lagi, aku akan datang dengan pekik kemerdekaan. Kuharap tuan-tuan berhati-hati dengan sabda tuan-tuan, karena mungkin tuan-tuan akan tercatat di lembar kisah kepahlawanan negeri ini.”
Kulangkahkan kaki, menyeberangi jalan.
Bekasi, 20 Mei 2007
Catatan kaki:[1] Bangunan; pendirian.[2] Pandangan hidup.[3] Pribadi; personal.[4] Dua dari banyak koran semasa tahun 1930-an.[5] Pendidikan; pengajaran.[6] Ramah-tamah.[7] Pemerintahan.[8] Hukum.[9] Hukum hubungan sebab-akibat.[10] Bersatu.[11] Masa depan.[12] Keterkaitan mistik.[13] Menentukan, mengambil kesimpulan.
Kau ingin pulang. Dalam sebuah prosa yang biasa dimainkan tanpa panggung
dan pemain. Kau hanya ingin pulang ke pangkuannya, mendesahkan liur
yang menetas dari perhelatan kelelahan. Ini bukan yang pertama. Ini
jelas bukan yang pertama kalinya.
Hujan dalam kolam yang setia
Terduduk, tergiur untuk pulang
Hanya untuk berdendang
Tentang nada yang bercerita
Akan mitos tua milik cermin sejarah
Pulang kepada bulan, atau kepada matahari, kau tak peduli. Kau bertanya dalam khayalan yang menerbangkanmu. Kau rapuh, serapuh-rapuhnya daging yang menyerah pada belatung-belatung tua. Warna-warni yang tak biasa, segurat baris dari dunia-kehidupan dengan makna yang bergerak tanpa irama.
Keleluasa-kuasaan yang terekam tanpa tanda baca
Tanpa pola
Tanpa praduga
Ritmik yang menghentak-hentak
Genderang yang membabi-buta
Aturan, tentang kebenaran, tentang kebaikan, tentang fasihnya etika yang menegangkan urat pertanyaan berisi petisi-petisi yang tak berkesudahan. Tapi jelas, ini bukan tentang moralitas. Ini sama sekali bukan tentang moralitas.
des30,09
Hujan dalam kolam yang setia
Terduduk, tergiur untuk pulang
Hanya untuk berdendang
Tentang nada yang bercerita
Akan mitos tua milik cermin sejarah
Pulang kepada bulan, atau kepada matahari, kau tak peduli. Kau bertanya dalam khayalan yang menerbangkanmu. Kau rapuh, serapuh-rapuhnya daging yang menyerah pada belatung-belatung tua. Warna-warni yang tak biasa, segurat baris dari dunia-kehidupan dengan makna yang bergerak tanpa irama.
Keleluasa-kuasaan yang terekam tanpa tanda baca
Tanpa pola
Tanpa praduga
Ritmik yang menghentak-hentak
Genderang yang membabi-buta
Aturan, tentang kebenaran, tentang kebaikan, tentang fasihnya etika yang menegangkan urat pertanyaan berisi petisi-petisi yang tak berkesudahan. Tapi jelas, ini bukan tentang moralitas. Ini sama sekali bukan tentang moralitas.
des30,09
Tes
Tes
Saya terkejut, bukan karena kekalahan opsi Pilkada Langsung, atau digelarnya agenda pembekalan anggota DPR Koalisi Merah Putih 2014-2019 Jumat kemarin (26/9) yang disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun televisi nasional. Saya terkejut, karena justru seorang Anis Matta yang notabene pejabat teras Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang telah menelanjangi simpul-simpul pikiran saya (dan mungkin ribuan pikiran orang-orang Indonesia) tentang kemiripan proses pemilihan parlemen dan model faksionalisasi eksekutif-parlemen di Indonesia saat ini dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat. Kalau seandainya lontaran itu diucapkan seorang Prabowo, Ganjar Pranowo atau mungkin tokoh akademisi, bisa jadi saya tak terlalu terkejut. Atau bisa saja saya melewatkan adanya lontaran serupa yang telah diucapkan dan tak saya ketahui.
Presiden PKS itu tampil seperti begawan politik. Kontennya sangat mengena. Kira-kira begini isinya, "Bahwa Pemilu kita secara tak sengaja telah mendikotomikan dua arus besar yang saling berhadapan. Kita, KMP, disebut-sebut sebagai kaum konservatif; sementara yang di sana liberal. Mirip dengan apa yang terjadi pada election di Amerika. Yang konservatif itu republiken, yang liberal itu di demokrat. Termasuk juga dengan pembagian kekuasaannya. Obama dari Demokrat menang di eksekutif, sementara parlemen mayoritas Republik."
Kira-kira seperempat perjalanan kampanye Pilpres kemarin, pikiran ini persis datang di kepala saya. Prabowo didukung banyak kalangan yang mencintai Indonesia dalam perspektif narrow nationalism (istilah kita menyebutnya nasionalisme militer yang tak terbantahkan). Sementara Jokowi didukung begitu banyak kelas menengah perkotaan yang telah melepaskan dogma-dogma di pikirannya dan mulai menyongsong kebebasan individual; sebagian lagi kaum minoritas yang sudah sangat terbiasa tertekan dan mendambakan standing legitimasi yang sama dengan mayoritas. Kita bisa menemui bukti-bukti otentik ini di banyak jejak: mulai dari cara berpakaian tim, penggunaan emblem, muatan pesan, twit dan sosmed war, sampai negatif dan kampanye hitam yang muatan pesannya justru semakin memperlihatkan adanya dikotomi dua aliran ini.
Pertanyaan mendasarnya, apakah dikotomi ini benar-benar ada, atau hanya sekedar agenda setting pihak tertentu?
Saya tak punya gelar akademis untuk dapat menegaskan jawaban ini. Hanya saja, saya mendapatkan fenomena menarik saat mendalami model divide et impera Belanda. Sesungguhnya, Belanda hanya menggunakan potensi konflik sebagai cara untuk memecah, dan tidak menciptakan konflik baru. Dari konsep inilah secara sederhana saya menjawab, bahwa dikotomi ini memang ada, dan ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan dikotomi ini sebagai potensi konflik.
Panjang sejarahnya, bisa jadi sejak kekuasaan kerajaan di pesisir pantai yang terbuka dan kekuasaan dari pedalaman pegunungan yang begitu sentralistik saling bertumbukan. Tapi dikotomi antar keduanya memang ada. Misalkan, kita bisa berdebat panjang tentang Piagam Jakarta dan spektrum ideologi yang terpetakan saat itu. Tapi toh, Pancasila telah merangkul semuanya dalam satu genggaman padi.
Analogi politik Bang Anis boleh jadi adalah apa yang menyeruak saat ini. Konservatisme agama dan nasionalisme telah semakin galak terlihat, sementara di sisi lain liberalisasi di seluruh sendi kehidupan juga mengalami histerianya. Yang satu menuduh yang lain tak bermoral, sementara yang satu menuding lainnya sebagai munafik.
Jujur, sejenak saya terdiam. Untungnya saya perokok, dan kediaman saya tak sepenuhnya diam. PKS telah secara jujur membuka kotak pandora ini di depan publik, dan dengan penyampaian seorang Anis Matta yang intelek dan argumentatif. Saya tadinya berharap, pikiran saya akan ditelanjangi oleh seorang akademisi. Tapi mungkin jamnya yang memang tak sejalan.
Mengapa seorang akademisi yang saya harapkan? Karena pertanyaan selanjutnya adalah: apakah dikotomi ini tak bisa didamaikan? Saya yakin, seorang akademisi dengan kenetralannya akan berkata: pernah! Soekarno dan Soeharto! Lepas dari perbedaan gaya kepemimpinan dan prioritas serta visi yang diemban, kedua orang ini sukses memainkan politic of equilibrium atau politik keseimbangan di antara dua dikotomi ini. Gus Dur bisa jadi tokoh berikutnya, tapi orbitnya belum terlalu pas untuk dirinya.
Hingga kemudian saya menjawab kepada diri saya sendiri. Bahwa kekuasaan berikutnya mungkin akan disibukkan dengan persoalan Suku Bunga Indonesia atau investor portofolio asing yang keluar masuk; atau subsidi BBM. Kekuasaan berikutnya harus dapat menemukan formula jitu mengawinkan kedua dikotomi tersebut agar konsepsi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika benar-benar terwujud. Tentu, bukan formula dan teknik dagang sapi serta bagi-bagi kursi. Mungkin di pikiran saya berikutnya, formula ini bisa muncul.
Jadi, Bang Anis. Selamat untuk kesadaranmu atas adanya dikotomi itu. Pupuklah visi kebersatuan, dan temukan formula jitu itu jika memang ingin partai pemenang yang dapat menciptakan kembali Indonesia. Janganlah menjadi politikus bergaya Belanda yang memahami potensi konflik dan menggunakannya demi menciptakan celah. Saya masih percaya, ada hati di antara kita.. (Japos, 28/9/2014)
(Untuk mengenal Palguna Lereng Merapi agar dapat memahami tulisan ini, silahkan lihat www.cakrapalguna.org)
Sebagai komunitas yang berkeinginan membangun diri
“Aktualitas itu baik dan benar.
Ego menunggu di ujung jalan jika aktualitas dilakukan berlebihan.”
Aktivitas
bloging telah menjadi sesuatu yang linear,
sejalan dengan perkembangan penggunaan media sosial semacam twitter dan
facebook. Orang menjadi bebas merdeka untuk mengutarakan pikirannya dan
perasaannya; bahkan untuk hal yang sesungguhnya memalukan untuk dapat
dikonsumsi secara publik.Bisa jadi karena angin demokrasi yang membuka banyak
portal kebebasan; bisa jadi juga bangsa ini memang terlalu lama dikekang hingga
menemui kebebasan dengan begitu histeris.
Saya bukan
ingin mengerdilkan siapapun, atau apapun. Pikiran saya selalu terganggu dengan
kata ‘aktualisasi’ yang sering dikutip sebagai cara seseorang menumpahkan
pikiran dan perasaannya. Perdebatan panjang dan melelahkan bisa saja dilakukan
untuk menilai kadar ‘aktualisasi’ ini; walau kemudian saya yakin tak akan ada
resolusi yang dapat menengahinya. Diskusi akan bubar dan sekedar menjadi
bunga-bunga cerita pengantar tidur.
Bukan salah
juga kalau kemudian saya menemukan perdebatan panjang dalam adegan sejarah ‘Polemik
Kebudayaan’. Sutan Takdir Alisjahbana, seorang sastrawan dan budayawan yang
karyanya diberedel oleh Soekarno. Dalam tulisannya di media Pujangga Baru, 2
Agustus 1935, dengan tajuk ‘Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru:
Indonesia-Pra Indonesia’, Sutan memberikan pandangan dikotomis antara jaman
Pra-Indonesia yang berlangsung hingga akhir abad 19 dan jaman Indonesia Baru
yang dimulai pada awal abad 20. Sanusi Pane, sastrawan di awal era kebangkitan
Indonesia, mencoba menghadang pemikiran Sutan dengan mencoba, “Menyatukan Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan
individulisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme". Poerbatjaraka, penulis yang memiliki akar kuat dalam
tradisi Jawa turut ambil bagian menghadang pemikiran Sutan, dengan mengatakan, “Janganlah
mabuk kebudayaan kuno tetapi jangan mabuk kebaratan juga; ketahuilah
dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam
hari yang akan datang kelak."
‘Polemik
Kebudayaan’ dari Sutan ini yang kemudian disebut-sebut memberikan inspirasi kepada
gerakan Surat Kepercayaan Gelanggang, yang kemudian dikenal sebagai Manifesto
Kebudayaan (Manikebu). Perseteruan Manikebu dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) yang memiliki afiliasi yang kuat terhadap Partai Komunis Indonesia
(PKI) berada di seputar hubungan ideologis antara kebudayaan dan praktik
kekuasaan. Lekra sangat dekat dengan semboyan ‘Seni untuk Rakyat’, sementara
Manikebu justru menginginkan seni tumbuh dalam kreatifitas yang tidak
terkungkung politik. Orang kemudian banyak menyebut semboyan Manikebu sebagai ‘Sastra
untuk Sastra’.
Sekali lagi,
saya bukan ingin menemukan kesalahan dan atau melakukan pembenaran. Ini adalah
diskursus publik yang sungguh panjang dan melelahkan. Sebagai bagian dari infrastruktur
penulisan dan menuangkan pikiran, pantas sebenarnya blogging dan media sosial hari ini disebut sebagai bentuk
kesusastraan kita hari ini. Penyebutan sastra lumpur di era 70-an yang kemudian
muncul lagi di era 90-an boleh kembali dikutip, atau apapun sebutannya. Tapi
toh, ia sudah mewarnai peradaban kita.
Saya masih
ingat, ketika beberapa tahun lalu saat saya bersama beberapa sahabat mencoba
peruntungan dengan mengirimkan tulisan dan cerpen ke media cetak nasional, ada
sebuah upaya ilmiah yang dilakukan dalam penulisan itu; bahkan untuk sebuah
cerpen. Sebagian besar ditolak, hanya satu atau dua yang dimuat. Tapi proses
penulisan itu melibatkan kelima panca indera kami, dan bahkan melalui berbagai
diskusi di kamar kos hingga larut malam. Hingga akhirnya kami memutuskan, blogging adalah salah satu sarana. Tak
ada kurasi (baca: mafia editor) di sana, dan penilaian serta interaksi dapat
langsung terjadi antara penulis dan pembaca. Dimulailah babak baru sarana
penulisan kepada publik.
Apa yang
terjadi pada saya sesungguhnya juga terjadi pada sebagian besar mereka yang
akrab dengan alat komunikasi. Pena telah digantikan tuts; kata pembuka surat ‘Yang
Terhormat’ telah digantikan ‘Dear...’; dan bahkan makian tercela tertampilkan
secara telanjang bulat tanpa editan. Benarkah saya—dan kami—telah menjadi
penerus generasi ‘Zaman Indonesia Baru’ milik Sutan Takdir Alisjahbana itu?
Lagi, ini
bisa menjadi diskusi yang panjang dan melelahkan. Tak ada jawaban pasti,
kecuali kesetiaan saya kepada setiap kata yang mewakili makna dan perasaannya
sendiri. (Japos, 16/10/2014)